![]() |
DKA bersama Kuasa Hukumnya, Arih Yaksana Bancin. (Foto/Dody). |
Dairi - nduma.id
Tak terima dituding melakukan pemalsuan putusan Mahkamah Agung (MA) oleh kliennya, AS.
DKA, seorang pengacara di Kabupaten Dairi Sumatera Utara memberikan penjelasan klarifikasinya ke publik.
Sebelumnya melalui sejumlah media, AS menuding DKA dan melaporkannya ke Polres Dairi atas dugaan memalsukan salinan putusan MA.
Karena itu, didampingi kuasa hukumnya, Arih Yaksana Bancin, DKA mengklarifikasi tudingan tersebut.
Kepada media, DKA menuturkan, hal itu bermula dari penanganan perkara sengketa tanah kliennya, AS, warga Lae Hole, Kecamatan Parbuluan, sebagai tergugat.
Yang mana ia diberi kuasa untuk mendampingi mulai dari Pengadilan Negeri Sidikalang, Pengadilan Tinggi Medan, hingga sampai tahap Kasasi ke MA.
Pada sekitar bulan Oktober 2024 lalu, perkara tersebut didaftarkan ke MA.
Kemudian pada bulan Januari 2025 ia mendapatkan pesan melalui WhatsApp dari seseorang yang mengaku sebagai Panitera MA berinisial EH.
"Di bulan satu, setelah itu semua terdaftar, ada orang yang mengaku Panitera mengchat saya. Beliau mengaku sebagai Pamut atau Panitera Muda," tutur DKA, Selasa (14/1/2025).
Sang oknum juga mengirimkan surat kuasa yang ia daftarkan dalam bentuk pdf.
"Dan itu surat kuasanya yang dikirimkan adalah surat kuasa yang asli yang saya daftarkan," terangnya.
Oleh karena itu, DAK kemudian yakin bahwa yang menghubunginya memang benar adalah Panitera di MA, karena tidak mungkin rasanya orang luar dapat mengakses data tersebut.
Kemudian komunikasi pun berlanjut melalui sambungan telepon.
Sang oknum EH mengaku bahwasanya dia adalah Panitera yang menangani perkara tersebut dan diinstruksikan oleh majelis hakim untuk berkomunikasi dengannya.
"Dengan alasan-alasan tertentu, sesuai dengan pertimbangan yang mereka lihat, ada ketimpangan dalam keputusan Pengadilan Tinggi sebelumnya," ujarnya.
"Nah, kemudian setelah disampaikan hal demikian, beliau menawarkan bisa membantu memberikan informasi bahkan sampai ke tahap membantu untuk percepatan keputusan," imbuhnya.
Kemudian DKA menyampaikan hal itu kepada kliennya, dan sang klien bersedia.
"Karena mereka juga sejak awal sebelum ada chat ini mereka mendesak saya untuk mencoba mencari jaringan yang bisa membantu kita," tuturnya.
Pada saat itu katanya sang oknum EH meminta agar DKA menyiapkan sesuatu, yang jika ditafsirkan adalah berupa uang untuk pengurusan perkara tersebut.
Komunikasi pun berlanjut hingga disepakati untuk bertemu langsung di MA pada 3 Februari 2025 lalu.
Sebelum berangkat ke Jakarta, DKA dan kliennya menyepakati biaya jasa pengacara sebesar 165 juta rupiah.
Kemudian ia berangkat ke Jakarta untuk bertemu dengan oknum yang mengaku sebagai Panitera tersebut di gedung MA.
Di dalam perjalanannya menuju Jakarta, sang oknum mengirim pesan chat kepada DKA yang mengatakan bahwa amar putusan akan dibacakan pada pukul 11:00 WIB.
Namun hingga pukul 11:00 WIB belum ada informasi dari sang oknum yang mengaku Panitera tersebut.
"Pada akhirnya setelah pukul 11:19 saya dikirimkan lah cuplikan, cuplikan putusan," terang DKA.
Kemudian DKA mengecek cuplikan yang dikirim tersebut dan sesuai baik nama dan nomor perkaranya.
"Kemudian saya cek mengenai amar putusannya, membatalkan putusan Pengadilan Tinggi," ungkapnya.
DKA kemudian menanyakan kepada sang oknum mengenai salinan putusan secara utuh, dan sang oknum mengiyakan akan memberikan salinan putusan secara utuh.
Kemudian ia meneruskan cuplikan tersebut kepada kliennya.
Sembari menunggu, kemudian ia mendapat telepon dari sang oknum yang mengatakan menunda pertemuan karena sedang ada tim pengawas yang melakukan audit, dan meminta agar mentransfer uang ke nomor rekening.
"Bahkan dia mengirimkan nomor rekening. Tapi saya tidak mau mengirimkan. Sampai saya diintervensi melalui via telepon, dengan bahasa kalau ini lewat jam 2 maka PR kita nyatakan batal," ungkapnya.
Karena tak kunjung bertemu, akhirnya ia masuk ke gedung MA, dan mengambil nomor antrian di PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu).
Dan sekitar pukul 17:00 WIB Ia menanyakan kepada petugas di PTSP mengenai perkara tersebut dan kemudian petugas mengeluarkan print out perkara tersebut.
Dan diketahui ternyata perkara tersebut masih berjalan, belum diputuskan.
Kemudian ia memberitahukan kepada petugas bahwa ada orang yang mengaku sebagai Panitera dan mengirimkan cuplikan putusan perkara tersebut, dan menanyakan kebenarannya.
"Kalau itu tidak betul, perkara bapak kan masih hidup, katanya," jelas DKA.
Pada saat itu lah DKA sadar bahwa sang oknum berupaya menipu.
Kemudian ia mengirimkan print out perkara tersebut kepada kliennya.
Dalam artian bahwasanya cuplikan putusan yang dikirim sebelumnya tidak valid.
Dan pada akhirnya pertemuan itu pun batal, dan ia kembali ke Sidikalang pada keesokan harinya, dan memberitahukan kepada kliennya bahwa perkaranya masih dalam tahap proses.
"Sekitar bulan 4 saya sudah komunikasi dengan mereka untuk pengembalian uang itu," ungkapnya.
"Kemudian juga setelah dapat putusan saya sampaikan, saya sampaikan di bulan 4 juga, uang itu dikembalikan. Kemudian saya jelaskan, untuk proses selanjutnya mungkin kita tinggal berjuang di upaya hukum PK (Peninjauan Kembali.red)," imbuhnya.
Menurut DKA pada saat itu kliennya mengatakan agar ia tetap menyimpan uang tersebut karena akan berlanjut ke PK.
"Kalau memang kita sepakat main di PK, saya bilang kita perlu Novum. Bukti baru saya bilang," ucapnya.
Bedasarkan putusan, yang menjadi pertimbangan kekalahan perkara mereka karena berkas yang mereka ajukan bukanlah dokumen yang asli, melainkan fotocopy.
Maka dari itu DKA kemudian menanyakan dan meminta kliennya untuk memberikan dokumen asli mengenai penyerahan tanah tersebut agar didaftarkan di PK, dan kliennya pun mengatakan akan memberikan dokumen aslinya.
Namun sang klien katanya tak kunjung memberikan dokumen asli tersebut, hingga pada awal Oktober 2025 keluarlah Aanmaning (surat perintah eksekusi kekalahan)
"Saya menganggap belum ada instruksi dari mereka untuk didaftarkan. Kan begitu. Saya nunggu masih. Di bulan awal bulan 10 keluarlah surat Aanmaning," ujarnya.
Setelah mendapat surat Aanmaning tersebut, kliennya kemudian mendatangi DKA ke kediamannya untuk meminta penjelasan.
"Datang di rumah saya jelaskan juga, kan bulan 4 itu saya sudah bilang bahwasanya uang itu dikembalikan. Nah ini putusan sudah Inkrah. Kalaupun upaya yang mau kalian lakukan, PK, dari kemarin saya tunggu berkas aslinya ga dikirim sama saya. Saya bilang seperti itu," terangnya.
Karena itu lah DKA katanya merasa heran kenapa Ia dituding menipu, padahal Ia sudah menjelaskan bahwasanya cuplikan putusan sebelumnya tidak valid, dan sebelumnya Ia juga mengatakan bersedia untuk mengembalikan uang tersebut.
Penasehat Hukum DKA, Arih Yaksana Bancin menegaskan bahwasanya tudingan penipuan ataupun pemalsuan terhadap kliennya sangat tidak tepat, karena menurutnya DKA bukanlah orang yang memproduksi cuplikan dokumen putusan tersebut.
"Ini hanya cuplikan amar putusan. Kemudian diteruskan, dikirimkan. Kemudian saudara DKA mengirimkan ke adiknya Armada Sagala. Dan sifatnya juga diteruskan," ujar Arih.
"Itu bisa ditelusuri. Kalau mereka membuat pembuktian melalui print out WhatsApp kelihatan ga itu diteruskan?" Imbuhnya.
Arih menegaskan dapat membuktikan bahwasanya bukan DKA yang memproduksi salinan putusan seperti yang dituduhkan.
"Kita membantah itu dugaan karena membuat redaksi diduga memalsukan putusan Mahkamah Agung," terang Arih.
"Artinya, menggunakan kata diduga ini kan bisa menjadi suatu kebenaran, bisa juga kebalikannya," lanjut Arih.
Arih menjelaskan, kalau pihak yang menuding kliennya menggunakan diksi memalsukan, itu artinya kliennya lah yang memproduksi salinan putusan tersebut.
Menurut Arih, ketika DKA mengirimkan print out yang menyatakan bahwasanya perkara tersebut masih berjalan, harusnya pihak AS paham bahwasanya cuplikan putusan yang dikirim sebelumnya tidak valid.
"Harusnya mereka paham, bahwa ketika perkara di bawah diterangkan masih hidup, berarti yang di atas itu bukan suatu kebenaran," jelas Ari.
Menurutnya, pihak AS juga harus paham bahwa DKA kapasitasnya adalah sebagai pengacara, bukan hakim yang memutuskan suatu perkara.
"Terkait kerugian yang mereka sampaikan, mereka kan ketika hadir di hadapan kita, mereka paham posisi kita ini pengacara, bukan hakim yang memutus perkara," terangnya.
"Ada orang datang ke kita. Kita dibayar jasa. Kemudian ada keputusan yang tidak sesuai dengan seleranya, kita dituduh menipu terkait jasa yang dibayarkan ke kita," lanjut Arih.
Arih menegaskan, bahwa klarifikasi ini perlu dilakukan agar duduk persoalannya menjadi jelas, dan juga untuk merehabilitasi nama baik DKA sebagai Advokat.
Sebelumnya dalam pemberitaan sejumlah media online, DKA dilaporkan ke Polres Dairi oleh AS atas dugaan pemalsuan salinan putusan MA, pada tanggal 9 Oktober 2025 lalu.
DKA dituding telah menyerahkan dokumen palsu terkait hasil kasasi di MA, dengan dugaan pelanggaran Pasal 266 juncto Pasal 378 Subsider Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen dan penipuan.
Laporan itu tercatat dengan nomor : LP/B/408/X/2025/SPKT/Polres Dairi/Polda Sumut.
Penulis : Dody
Redaktur : Rudi