![]() |
Aliansi masyarakat masyarakat adat dan mahasiswa berfoto dilahan sihaporas. (Foto/Ari) |
Pematangsiantar - nduma.id
Konflik antara masyarakat adat Lembaga Adat Keturunan Opung Mamontang Laut Sihaporas (Lamtoras) dengan pihak PT. TPL belum juga usai, bahkan katanya sudah sejak tahun 1998.
Menyikapi itu, AMMA (Aliansi Mahasiswa
dan Masyarakat Adat) yang terdiri dari beberapa organisasi menyampaikan
sikapnya.
Edis Galingging, Ketua Presidium
PMKRI Cabang Pematangsiantar menyampaikan, konflik ini haruslah mendapat respon
cepat dari semua pihak.
“Konflik telah lama terjadi, tapi
pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif yang ada di Kabupaten Simalungun
masih menutup mata seolah-olah tidak terjadi apa-apa,” ucap Edis, Minggu
(24/7/2022).
Serupa di katakan Juwita Theresia
Panjaitan, Ketua GMKI Cabang Pematangsiantar-Simalungun.
Konflik yang telah berkepanjangan itu
dikatakan telah menjadi kewajiban kepala daerah.
“Bupati Simalungun wajib menjamin
keberadaan dan kesejahteraan masyarakat,” ucapnya.
Sedangkan Roganda Simanjuntak, ketua
AMAN Tano Batak menyampaikan bahwa pihak kepolisian harus segera menghentikan
segala bentuk kekerasan dan intimidasi kepada masyarakat adat Lamtoras.
Menyikapi konflik-konflik di masyarakat
itu, Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Adat (AMMA) memberikan poin tuntutan.
Pertama mendesak Polres Simalungun agar
lebih bersikap humanis dalam proses penyelesaian konflik PT. TPL dan
masyarakat.
Kedua, mendesak DPRD Kabupaten
Simalungun agar segera mungkin membuat perda masyarakat adat di Kabupaten
Simalungun.
Ketiga, meminta Bupati Simalungun agar
segera membentuk Tim Identifikasi masyarakat adat di kabupaten Simalungun agar
dapat menerbitkan SK Masyarakat Adat.
Dan keempat, mendesak pihak Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan klaim areal konsesi PT Toba Pulp
Lestari dari wilayah adat Lamtoras-Sihaporas dan wilayah Adat Dolok
Parmonangan.
Tomson Ambarita, perwakilan dari
masyarakat adat Lamtoras menyampaikan kepada AMMA kalau konflik terjadi lagi,
bermula pada 14 Juli 2022 lalu.
Dimana mitra PT TPL berinisial SS
memberhentikan 2 orang masyarakat Sihaporas yang ingin pulang ke kampung,
selepas mengambil bibit pohon dari Kota Pematangsiantar untuk ditanam di wilayah
adat mereka.
Kedua warga itu dikatakan dimarahi
Petugas TPL, kemudian di tuduh membakar lahan pohon ekaliptus, dan menabur
ranjau yang menyebabkan ban mobil PT. TPL bocor, bahkan dikatakan tidak ada
tanah leluhur di sana.
Ini mengundang amarah dari masyarakat,
dan meminta agar SS segera mengklarifikasi dan menyampaikan permohonan
maafnya kepada masyarakat.
Namun hal ini belum mendapat tanggapan.
Konflik dengan pihak TPL itu melibatkan
Polsek Sidamanik hingga Polres Simalungun.
“Masyarakat terus menerus dikriminalisasi sehingga berharap bahwa ada sedikit kebaikan dari pemerintah terhadap masyarakat agar tidak ditindas terus menerus oleh PT. TPL,” kata Tomson Ambarita. (Ari)