![]() |
Kristina Elia Purba (Foto/ Ari). |
Pematangsiantar - nduma.id
Setiap Tahun tepatnya tanggal 21 April adalah momen memperingati perjuangan perempuan Indonesia.
"Habis gelap, terbitlah terang".
Ungkapan ini berasal dari buku kumpulan surat Raden Ajeng Kartini, "Habis Gelap Terbitlah Terang" yang diterjemahkan dari judul bahasa Belanda, "Door Duisternis tot Licht" yang berarti "Dari Kegelapan Menuju Cahaya".
Kepada nduma.id, Kristina Elia Purba selaku Ketua Lembaga Pemberdayaan Perempuan Pengurus Pusat (PP) Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) periode 2024-2026, mengatakan, Hari Kartini harus direfleksikan sebagai hari bersejarah dalam memperjuangkan emansipasi perempuan.
"Kartini hidup di zaman kolonial, di mana kesetaraan antara laki-laki dan perempuan belum ada," kata Kristina Elia Purba, Minggu (20/04/2025).
Kartini, Kata Kristina Purba, menghabiskan waktunya dengan membaca dan menulis sebagai bentuk perlawanan dalam memperjuangkan emansipasi perempuan.
"Hal yang seharusnya terlintas di kepala kita ketika berbicara kartini adalah literasi," ucap Kristina Purba.
Basis literasi sangat penting untuk menyuarakan emansipasi antara laki-laki dan perempuan.
Melalui tulisan, Kartini memiliki kontribusi besar dalam memperjuangkan hak-hak perempuan.
"Artinya, dapat dimaknai bahwa sangat penting gerakan perempuan diperkuat dengan semangat literasi," ujar Kristina Purba.
Semangat Kartini dengan membumikan sastra sebagai bentuk perlawanan harus digaungkan oleh perempuan sekarang, bukan terjebak ke dalam lingkaran propaganda media sosial yang malah merendahkan harkat dan martabat perempuan.
Contohnya, ungkap Kristina Purba, standar kecantikan perempuan yang ditampilkan di media sosial banyak hal-hal yang menuntut perempuan harus ini dan harus itu.
Masalah ini berkaitan dengan teori konstruksi sosial media massa yang dicetuskan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman, mereka menjelaskan bahwa realitas sosial dibentuk dan dikonstruksi oleh manusia.
Media Sosial selalu menyajikan gambaran kecantikan melalui visual iklan.
Hal ini membentuk persepsi masyarakat tentang standar kecantikan sehingga banyak perempuan yang rela melakukan apapun agar sesuai dengan gambaran kecantikan yang ideal.
Yang tidak ideal maka akan dibully.
Hal ini menjadi penyebab tumpulnya gerakan perempuan dalam memperjuangkan emansipasi.
Masalah tersebut mendorong kita harus mengobarkan kembali semangat Kartini yaitu Literasi.
Tanpa membaca, perempuan akan selalu berada di bawah laki-laki.
Karena tumbuh suburnya ketidakadilan disebabkan oleh ketidaktahuan.
"Perempuan harus berani bersuara melalui karya yang dituangkan melalui tulisan," sebut Kristina Purba.
Tantangan di Era Artificial Intelligence (AI).
Perjuangan Kartini dapat dikontekstualisasikan dengan situasi sekarang yang dibanjiri dengan pesatnya perkembangan teknologi.
Hari ini, menurut Kristina Purba, banyak generasi yang terjebak dengan propaganda media.
Ditambah dengan Fenomena AI yang tidak dikelola dengan baik akan berdampak fatal pada bias AI.
Menurut, Kristina, AI adalah teknologi canggih yang dirancang untuk mempermudah pekerjaan manusia dengan cara mereplikasi otak dan pikiran manusia.
AI telah berkembang pesat sejak pertama kali diciptakan oleh John McCarthy dan menjadi topik menarik perhatian dunia.
Teknologi AI telah membawa kemudahan dalam mengedit foto dan video, tetapi juga menghadirkan tantangan baru berupa deepfake, yaitu manipulasi gambar dan suara menggunakan kecerdasan buatan.
Deepfake telah menjadi ancaman nyata terhadap privasi, keamanan dan reputasi perempuan di sosial media, terutama dalam industri pornografi.
Teknologi ini dapat membuat video palsu yang sulit dibedakan dari rekaman asli.
AI juga semakin populer dengan kehadiran ChatGPT yang menunjukkan kemampuan AI dalam memproses dan menghasilkan suatu informasi.
"Artinya, fenomena ini jangan dianggap remeh karena bias-bias AI bisa saja terjadi tergantung pemasok data," ungkap Kristina.
Sederhananya, sambung Kristina, adalah jika pemasok data didominasi oleh orang Barat maka analisis dan rekomendasi AI bisa bias orang barat dan cenderung diskriminatif terhadap orang Timur.
Begitu pula jika pemasok data kebanyakan laki-laki, maka analisis dan rekomendasi AI bisa bias laki-laki dan cenderung diskriminatif terhadap perempuan.
Ini menjadi problem yang harus direfleksikan bersama.
Kembali lagi pada konteks semangat perjuangan Kartini maka gerakan perempuan harus diperkuat dengan literasi agar menjadi pemasok data dengan berkontribusi melalui pemikiran-pemikiran yang dituangkan ke dunia maya.
Karena hal yang keliru jika dinormalisasikan maka akan dianggap sebagai suatu kebenaran.
Faktanya, Kartini dulu menulis namun Kartini sekarang banyak terjebak ke dalam propaganda media dengan bergoyang-goyang dan saling menghakimi satu sama lain.
Banyak kaum perempuan enggan untuk membaca, apalagi untuk menulis.
Lantas, bagaimana mau memperjuangkan emansipasi jika budaya ini masih dipelihara? Jadi, jangan heran jika analisis dan rekomendasi AI bisa menyudutkan perempuan.
Kolaborasi Atau Kompetisi ?
PP PMKRI itu mengatakan, menurut data Komnas Perempuan dan data pelaporan menunjukkan kekerasan yang dialami perempuan yakni kekerasan seksual dengan total 36,43 persen.
Kemudian diikuti kekerasan psikis sebanyak 26,94 persen, kekerasan fisik sebanyak 26,78 persen dan kekerasan ekonomi sebanyak 9,85 persen.
Data tersebut sebagai gambaran untuk memaknai gerakan perempuan dalam mewujudkan keadilan.
Untuk mewujudkan keadilan, perlu disadari bahwa semangat kolaborasi perlu membumi.
Perkembangan teknologi yang sangat pesat menghadirkan konsep gerakan yang sederhana, dan kreatif.
Perlu disadari bahwa kita tidak bisa saling menginspirasi hanya melalui semangat kompetitif.
Oleh karena itu, semangat kolaborasi sangat penting dalam perjuangan.
Kita dapat bekerja sama dan saling berbagi ide untuk merumuskan potensi kita menjadi suatu kekuatan besar.
Faktanya, penelitian oleh McKinsey menunjukkan bahwa meningkatkan komunikasi dan kolaborasi dapat meningkatkan produktivitas sebesar 20-25%.
Kolaborasi sangat penting untuk berdaya bersama.
Emansipasi hanyalah halusinasi jika sesama perempuan masih terjebak ke dalam paradigma individualistik.
"Hari Kartini bukan ajang bernostalgia dan hidup di dalam abu Kartini, melainkan kobaran api sebagai simbol semangat perjuangan," tegas Kristina Purba.
Penulis : Ari
Redaktur : Rudi